Home
»
dalil
»
hadist
»
hukum larangan isbal
»
kewajiban muslim
»
Life Style
»
sunnah nabi
» hukum Isbal, kain di bawah mata kaki tempatnya adalah di neraka
Isbal adalah istilah dalam islam yang berarti
menjulurkan pakaian, dalam hal ini adalah celana atau kain yang dijulurkan
sampai lebih dari mata kaki.. Banyak sekali
dalil dari hadits Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam tentang hal ini..
Dalil
seputar masalah isbal ada dua jenis, yaitu :
Pertama, isbal hukumnya haram jika disertai kesombongan.
Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:
من
جر ثوبه خيلاء ، لم ينظر الله إليه يوم القيامة . فقال أبو بكر : إن أحد شقي ثوبي
يسترخي ، إلا أن أتعاهد ذلك منه ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنك لن
تصنع ذلك خيلاء . قال موسى : فقلت لسالم : أذكر عبد الله : من جر إزاره ؟ قال : لم
أسمعه ذكر إلا ثوبه
“Barangsiapa
menjulurkan pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah pada hari
kiamat. Abu Bakar lalu berkata: ‘Salah satu sisi pakaianku akan melorot kecuali
aku ikat dengan benar’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‘Engkau tidak melakukan itu karena sombong’.Musa bertanya kepada Salim, apakah
Abdullah bin Umar menyebutkan lafadz ‘barangsiapa menjulurkan kainnya’? Salim
menjawab, yang saya dengan hanya ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya’. ”. (HR. Bukhari 3665, Muslim
2085)
بينما
رجل يجر إزاره من الخيلاء خسف به فهو يتجلجل في الأرض إلى يوم القيامة.
“Ada
seorang lelaki yang kainnya terseret di tanah karena sombong. Allah
menenggelamkannya ke dalam bumi. Dia meronta-ronta karena tersiksa di dalam
bumi hingga hari Kiamat terjadi”. (HR. Bukhari, 3485)
لا
ينظر الله يوم القيامة إلى من جر إزاره بطراً
“Pada
hari Kiamat nanti Allah tidak akan memandang orang yang menyeret kainnya karena
sombong” (HR. Bukhari 5788)
Kedua, Banyak juga hadist yang melarang isbal secara mutlak
baik yang disertai dengan kesombongan atau tidak.
Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:
ما
أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
“Kain
yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka” (HR. Bukhari
5787)
ثلاثة
لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم المسبل
والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب
“Ada
tiga jenis manusia yang tidak akan diajak biacar oleh Allah pada hari Kiamat,
tidak dipandang, dan tidak akan disucikan oleh Allah. Untuk mereka bertiga
siksaan yang pedih. Itulah laki-laki yang isbal, orang yang mengungkit-ungkit
sedekah dan orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu”.
(HR. Muslim, 106)
لا
تسبن أحدا ، ولا تحقرن من المعروف شيئا ، ولو أن تكلم أخاك وأنت منبسط إليه وجهك ،
إن ذلك من المعروف ، وارفع إزارك إلى نصف الساق ، فإن أبيت فإلى الكعبين ، وإياك
وإسبال الإزار ؛ فإنه من المخيلة ، وإن الله لا يحب المخيلة
“Janganlah
kalian mencela orang lain. Janganlah kalian meremehkan kebaikan sedikitpun,
walaupun itu hanya dengan bermuka ceria saat bicara dengan saudaramu. Itu saja
sudah termasuk kebaikan. Dan naikan kain sarungmu sampai pertengahan betis.
Kalau engkau enggan, maka sampai mata kaki. Jauhilah isbal dalam memakai kain
sarung. Karena isbal itu adalah kesombongan. Dan Allah tidak menyukai
kesombongan” (HR. Abu Daud 4084, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
مَرَرْتُ
عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي
اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ! فَرَفَعْتُهُ. ثُمَّ
قَالَ: زِدْ! فَزِدْتُ. فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ. فَقَالَ بَعْضُ
الْقَوْمِ: إِلَى أَيْنَ؟ فَقَالَ: أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ
“Aku
(Ibnu Umar) pernah melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara
kain sarungku terjurai (sampai ke tanah). Beliau pun bersabda, “Hai Abdullah,
naikkan sarungmu!”. Aku pun langsung menaikkan kain sarungku. Setelah itu
Rasulullah bersabda, “Naikkan lagi!” Aku naikkan lagi. Sejak itu aku selalu
menjaga agar kainku setinggi itu.” Ada beberapa orang yang bertanya, “Sampai di
mana batasnya?” Ibnu Umar menjawab, “Sampai pertengahan kedua betis.” (HR.
Muslim no. 2086)
Dari
Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu’anhu beliau berkata:
رأيت
رسول الله صلى الله عليه وسلم أخذ بحجزة سفيان بن أبي سهل فقال يا سفيان لا تسبل
إزارك فإن الله لا يحب المسبلين
“Aku
melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendatangi kamar Sufyan bin Abi
Sahl, lalu beliau berkata: ‘Wahai Sufyan, janganlah engkau isbal. Karena Allah
tidak mencintai orang-orang yang musbil’” (HR. Ibnu Maajah no.2892,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih
Ibni Maajah)
Karena ada 2 jenis dalil seperti di atas, maka para
ulama menghukum isbal karena kesombongan menjadi haram. Sedangkan jika tanpa
disertai kesombongan, para ulama masih berbeda pendapat. Syaikh Alwi bin Abdil Qadir As Segaf berkata:
“Para ulama bersepakat tentang haramnya isbal karena
sombong, namun mereka berbeda pendapat jika isbal dilakukan tanpa sombong dalam 2 pendapat:
Pertama, hukumnya boleh, tapi dibenci
(makruh), pendapat inilah yang paling
banyak diikuti oleh para ulama dari 4 mazhab.
Kedua, hukumnya haram secara mutlak.
Ini adalah satu pendapatnya Imam Ahmad,
yang berbeda dengan pendapat lain yang masyhur dari beliau. Ibnu Muflih berkata
: ‘Imam Ahmad Radhiallahu’anhu Ta’ala berkata, yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya
adalah neraka, tidak boleh menjulurkan sedikitpun bagian dari pakaian melebihi
itu. Perkataan ini zhahirnya adalah pengharaman’ (Al Adab Asy Syari’ah,
3/492). Ini juga pendapat yang dipilih Al Qadhi ‘Iyadh, Ibnul ‘Arabi ulama
madzhab Maliki, dan dari madzhab Syafi’i ada Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar Al
Asqalani cenderung menyetujui pendapat beliau. Juga merupakan salah satu
pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, pendapat madzhab Zhahiriyyah, Ash
Shan’ani, serta para ulama di masa ini yaitu Syaikh Ibnu Baaz, Al Albani, Ibnu ‘Utsaimin. Pendapat kedua inilah yang paling sesuai dari semua
dalil yang ada..
Sedangkan kewajiban kita bila para ulama berselisih,
maka hendaknya kita mengembalikannya ke pada al-qur’an dan hadist. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
(QS. An Nisa: 59)
Karena dalil-dalil yang
mengharamkan isbal secara mutlak adalah sangat jelas dan tegas.
(Sumber
: http://www.dorar.net/art/144 )
Jadi hukum islam
tentang masalah isbal adalah tegas dan mutlak, baik pendapat yang haram, maupun
pendapat yang makruh. Tapi di zaman ini,
larangan isbal sudah sangat dianggap remeh. Hampir semua
umat yang mengaku beragama islam, malah senang berpakaian yang lebih menyerupai
kaum kafir ketimbang tata-cara berpakaian yang sudah ditetapkan oleh tuhan dan
nabinya sendiri. Bahkan budaya memakai celana di bawah mata kaki sudah dianggap
sebagai kemajuan zaman, sedangkan orang yang berpakain sesuai ajaran agama
islam dianggap asing dan kuno. Padahal, di zaman nabi jika sesuatu dihukumi
makruh oleh Rasulullah SAW, maka setiap umat islam akan segera meninggalkannya.
Sedangkan di zaman sekarang ini, hukum makruh sudah seperti mubah atau
boleh-boleh saja. Banyak orang – orang bahkan ulama yang menyebarkan syubhat
seperti berikut :
Syubhat 1: memakai pakaian atau celana di atas mata kaki, atau
sebetis dianggap asing dan nyeleneh.
Sungguh sangat parah dan keterlaluan jika ada orang
yang mengangap celana di atas mata kaki adalah sesuatu yang nyeleneh. Padahal
banyak sekali dalil al-qur’an dan hadist mengenai keharusan memakai celana di
atas mata-kaki. Terlebih semua imam mazhab
melarang isbal ini dan sudah tidak asing lagi bagi para penimba ilmu agama. Sebagai bukti bahwa larangan isbal adalah tegas dan
tidak asing bagi para penuntut ilmu agama dan bagi para imam yang 4, kami
sebutkan beberapa perkataan para imam yang 4 tersebut. Berikut bunyinya :
Madzhab Maliki
Ibnu
‘Abdil Barr dalam At Tamhid (3/249) :
وقد
ظن قوم أن جر الثوب إذا لم يكن خيلاء فلا بأس به واحتجوا لذلك بما حدثناه عبد الله
بن محمد بن أسد …. قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : «من جر ثوبه خيلاء لم ينظر
الله إليه يوم القيامة» فقال أبو بكر: إن أحد شقى ثوبي ليسترخي إلا أن أتعاهد ذلك
منه،فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: «إنك لست تصنع ذلك خيلاء» قال موسى قلت
لسالم أذَكر عبد الله من جر إزاره،قال لم أسمعه إلا ذكر ثوبه،وهذا إنما فيه أن أحد
شقى ثوبه يسترخي، لا أنه تعمد ذلك خيلاء، فقال له رسول الله صلى الله عليه و سلم:
«لست ممن يرضى ذلك» ولا يتعمده ولا يظن بك ذلك
“Sebagian
orang menyangka bahwa menjulurkan pakaian jika tidak karena sombong itu tidak
mengapa. Mereka berdalih dengan riwayat dari Abdullah bin Muhammad bin Asad
(beliau menyebutkan sanadnya) bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda: ‘Barangsiapa menjulurkan pakaiannya karena sombong, tidak akan
dilihat oleh Allah pada hari kiamat’. Abu Bakar lalu berkata: ‘Salah satu sisi
pakaianku akan melorot kecuali aku ikat dengan benar’. Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Engkau tidak melakukan itu karena
sombong’. Musa bertanya kepada Salim, apakah Abdullah bin Umar menyebutkan
lafadz ‘barangsiapa menjulurkan kainnya’? Salim menjawab, yang saya dengan
hanya ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya‘.
Dalam hadist di atas, jelas sekali maksudnya bahwa
kain abu bakar melorot sampai di bawah mata kaki, bukannya abu bakar
menyengajakannya. Oleh karena itulah
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda: ‘Engkau bukanlah termasuk orang yang dengan
suka rela melakukan hal tersebut, bersengaja melakukan hal tersebut dan tidak
mungkin ada orang yang punya praduga bahwa engkau wahai Abu Bakar melakukan hal
tersebut dengan sengaja“. Setelah Rasulullah bersabda demikian, maka abu bakar
bukan terus-terusan membiarkan kainnya melorot, tapi mulai membiasakan memakai
kainnya di atas mata kaki.
Abul Walid
Sulaiman Al Baaji dalam Al
Muntaqa Syarh Al Muwatha (9/314-315)
:
وقوله
صلى الله عليه وسلم الذي يجر ثوبه خيلاء يقتضي تعلق هذا الحكم بمن جره خيلاء، أما
من جره لطول ثوب لا يجد غيره، أو عذر من الأعذار فإنه لا يتناوله الوعيد… قوله صلى
الله عليه وسلم: «إزارة المؤمن إلى أنصاف ساقيه»، يحتمل أن يريد به والله أعلم أن
هذه صفة لباسه الإزار؛ لأنه يلبس لبس المتواضع المقتصد المقتصر على بعض المباح،
ويحتمل أن يريد به أن هذا القدر المشروع له ويبين هذا التأويل قوله صلى الله عليه
وسلم :لا جناح عليه فيما بينه وبين الكعبين يريد والله أعلم أن هذا لو لم يقتصر
على المستحب مباح لا إثم عليه فيه ، وإن كان قد ترك الأفضل
“Sabda
Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam ‘barangsiapa
menjulurkan pakaiannya karena sombong‘ ini menunjukkan hukumnya terkait
bagi orang yang melakukannya karena sombong. Adapun orang yang pakaiannya
panjang dan ia tidak punya yang lain (hanya punya satu), atau orang yang punya
udzur lain, maka tidak termasuk ancaman hadits ini. Dan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
‘Kainnya orang mu’min itu sepertengahan betis’, dimungkinkan –wallahu’alam–
inilah deskripsi pakaian beliau. Karena beliau lebih menyukai memakai pakaian
ketawadhu’an, yaitu yang seadanya, dibanding pakaian lain yang mubah.
Dimungkinkan juga, perkataan beliau ini menunjukkan kadar yang masyru’ [baca:
yang dianjurkan]. Tafsiran ini diperjelas oleh sabda beliau yang lain: ‘Tidak
mengapa bagi mereka untuk mengenakan antara paha dan pertengahan betis’. Beliau
ingin mengatakan -wallahu’alam- bahwa kalau tidak mencukupkan diri pada yang
mustahab [setengah betis], maka boleh dan tidak berdosa. Namun telah
meninggalkan yang utama”.
Catatan:
Perhatikan,
Al Baji berpendapat bahwa larangan isbal tidak sampai haram jika tidak sombong.
Namun beliau hanya mentoleransi isbal jika karena adanya uzur saja.
Mazhab Hambali
Abu Naja
Al Maqdisi:
ويكره
أن يكون ثوب الرجل إلى فوق نصف ساقه وتحت كعبه بلا حاجة لا يكره ما بين ذلك
“Makruh
hukumnya pakaian seorang lelaki panjangnya di atas pertengahan betis atau
melebihi mata kaki tanpa adanya kebutuhan. Jika di antara itu [pertengahan
betis sampai sebelum mata kaki] maka tidak makruh” (Al Iqna,
1/91)
Ibnu
Qudamah Al Maqdisi :
ويكره
إسبال القميص والإزار والسراويل ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بَرفْع الإزار
. فإن فعل ذلك على وجه الخيلاء حَرُم
“Makruh
hukumnya isbal pada gamis, sarung atau sarowil (celana). Karena NabiShallallahu’alaihi
Wasallam memerintahkan untuk
meninggalkan ketika memakai izar (sarung). Jika melakukan hal itu karena
sombong, maka haram” (Al Mughni, 1/418)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah:
وإن
كان الإسبال والجر منهياً عنه بالاتفاق والأحاديث فيه أكثر، وهو محرم على الصحيح،
لكن ليس هو السدل
“Walaupun
memang isbal dan menjulurkan pakaian itu itu terlarang berdasarkan kesepakatan
ulama serta hadits yang banyak, dan ia hukumnya haram menurut pendapat yang
tepat, namun isbal itu berbeda dengan sadl”
(Iqtidha Shiratil Mustaqim, 1/130)
Madzhab Hanafi
As
Saharunfuri :
قال
العلماء : المستحب في الإزار والثوب إلى نصف الساقين ، والجائز بلا كراهة ما تحته
إلى الكعبين ، فما نـزل عن الكعبين فهو ممنوع . فإن كان للخيلاء فهو ممنوع منع
تحريم وإلا فمنع تنـزيه
“Para
ulama berkata, dianjurkan memakai sarung dan pakaian panjangnya sampai setengah
betis. Hukumnya boleh (tanpa makruh) jika melebihi setengah betis hingga mata
kaki. Sedangkan jika melebihi mata kaki maka terlarang. Jika melakukannya
karena sombong maka haram, jika tidak maka makruh” (Bazlul Majhud,
16/411)
Dalam
kitab Fatawa Hindiyyah (5/333) :
تَقْصِيرُ
الثِّيَابِ سُنَّةٌ وَإِسْبَالُ الْإِزَارِ وَالْقَمِيصِ بِدْعَةٌ يَنْبَغِي أَنْ
يَكُونَ الْإِزَارُ فَوْقَ الْكَعْبَيْنِ إلَى نِصْفِ السَّاقِ وَهَذَا فِي حَقِّ
الرِّجَالِ، وَأَمَّا النِّسَاءُ فَيُرْخِينَ إزَارَهُنَّ أَسْفَلَ مِنْ إزَارِ
الرِّجَالِ لِيَسْتُرَ ظَهْرَ قَدَمِهِنَّ. إسْبَالُ الرَّجُلِ إزَارَهُ أَسْفَلَ
مِنْ الْكَعْبَيْنِ إنْ لَمْ يَكُنْ لِلْخُيَلَاءِ فَفِيهِ كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ
“Memendekkan
pakaian (sampai setengah betis) hukumnya sunnah. Dan isbal pada sarung dan
gamis itu bid’ah. Sebaiknya sarung itu di atas mata kaki sampai setengah betis.
Ini untuk laki-laki. Sedangkan wanita hendaknya menurunkan kainnya melebihi
kain lelaki untuk menutup punggung kakinya. Isbalnya seorang lelaki melebihi
mata kaki jika tidak karena sombong maka hukumnya makruh”
Madzhab Syafi’i
An Nawawi:
فما
نـزل عن الكعبين فهو ممنوع ، ، فإن كان للخيلاء فهو ممنوع منع تحريم وإلا فمنع
تنـزيه
“Kain yang
melebihi mata kaki itu terlarang. Jika melakukannya karena sombong maka haram,
jika tidak maka makruh” (Al Minhaj, 14/88)
Ibnu Hajar
Al Asqalani :
وحاصله:
أن الإسبال يستلزم جرَّ الثوب، وجرُّ الثوب يستلزم الخيلاء، ولو لم يقصد اللابس
الخيلاء، ويؤيده: ما أخرجه أحمد بن منيع من وجه آخر عن ابن عمر في أثناء حديث
رفعه: ( وإياك وجر الإزار؛ فإن جر الإزار من المخِيلة
“Kesimpulannya,
isbal itu pasti menjulurkan pakaian. Sedangkan menjulurkan pakaian itu
merupakan kesombongan, walaupun si pemakai tidak bermaksud sombong. Dikuatkan
lagi dengan riwayat dari Ahmad bin Mani’ dengan sanad lain dari Ibnu
Umar. Di dalam hadits tersebut dikatakan ‘Jauhilah perbuatan menjulurkan
pakaian, karena menjulurkan pakaian itu adalah kesombongan‘” (Fathul
Baari, 10/264)
Maka dari itu sangat bodoh jika ada orang yang bilang
bahwa larangan isbal adalah ajaran aneh dan nyeleneh. Apalagi jika ada orang
ang mengejek orang yang menjauhi larangan isbal
dengan sebutan ‘kebanjiran‘, ‘kurang bahan‘, dll. Allahul musta’an.
Syubhat 2: apakah gara-gara
celana saja kita masuk neraka?
Pernyataan seperti ini hanyalah keluar dari
orang-orang yang tidak takut kepada Allah, dan tidak mengikuti sunnah nabi. Sungguh Allah Maha Berkehendak menentukan perbuatan apa
yang menyebabkan masuk neraka, melalui firman-Nya atau pun melalui sabda
Nabi-Nya. AllahTa’ala berfirman:
لَا
يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Allah
tidak ditanya oleh hamba, namun merekalah yang akan ditanyai oleh Allah”
(QS. Al Anbiya: 23)
Perbuatan yang sepele di mata manusia, apabila
dilarang bisa membuat kita masuk neraka apabila tidak mematuhiinya. Allah SWT
maha berkehendak, dan semua kehendaknya terdapat hikmah dan selalu berisi
kebaikan bagi para umatnya. Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا
كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Hanya
ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan
Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum diantara kalian, maka mereka
berkata: Sami’na Wa Atha’na (Kami telah
mendengar hukum tersebut dan kami akan taati).
Merekalah orang-orang yang beruntung”
(QS. An Nuur: 51)
Selain isbal, Islam
mengatur hukum-hukum kehidupan sampai perkara terkecil. Ketika Salman Al Farisi
ditanya:
قد
علمكم نبيكم صلى الله عليه وسلم كل شيء . حتى الخراءة . قال ، فقال : أجل . لقد
نهانا أن نستقبل القبلة لغائط أو بول . أو أن نستنجي باليمين . أو أن نستنجي بأقل
من ثلاثة أحجار . أو أن نستنجي برجيع أو بعظم
“Nabi
kalian telah mengajari kalian segala hal hingga masalah buang air besar?
(Beliau menjawab: ) Benar. Beliau melarang kami menghadap kiblat ketika kencing
atau buang hajat, bersuci dengan tangan kanan, bersuci dengan kurang dari tiga
buah batu, dan bersuci dengan kotoran atau tulang” (HR. Muslim, 262)
Orang-orang
yang meremehkan larangan isbal, pasti juga enggan mematuhi aturan-aturan Islam dalam buang hajat, dalam makan,
dalam tidur, dalam memakai sandal, dan perkara lain yang nampaknya sepele.
Syubhat 3: Larangan isbal hanya berlaku pada kain sarung
Banyak orang, terlebih orang awam yang menganggap
bahwa isbal yang dilarang adalah dari kain sarung saja, karena di dalam hadits hanya disebutkan من جر إزاره ‘barangsiapa
yang menjulurkan izaar (kain sarung) nya‘. Atau ada juga orang yang mengira bahwa
larangan isbal hanya berlaku pada kain sarung, gamis dan imamah sebagaimana
hadits:
الإسبال
في الإزار والقميص والعمامة من جر منها شيئا خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة
“Isbal
itu pada kain sarung, gamis dan imamah. Barangsiapa menjulurkannya sedikit saja
karena sombong, tidak akan dipandang oleh Allah di hari kiamat”
Sehingga banyak orang yang tidak merasa bedosa
melakukan isbal dengan celana jeans, pantolan, dan lain-lain asal bukan kain
sarung.
Sungguh anggapan ini sangat salah. Larangan isbal juga berlaku bagi semua model pakaian dan celana. Syaikh Ali Hasan Al Halabi membantah anggapan ini,
beliau berkata, “Sebagian orang mengira
bahwa hadits ini menunjukkan bahwa larangan isbal hanya pada tiga jenis
pakaian: kain sarung (izaar), gamis dan
imamah. Dan isbal pada celana pantalon tidak termasuk dalam larangan. Ini
adalah klaim yang tertolak oleh hadist itu sendiri. Karena justru makna hadits
ini adalah meniadakan anggapan bahwa larangan isbal itu hanya pada kain (izaar). Bahkan larangannya berlaku pada semua jenis
pakaian, baik yang ada di zaman Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam (seperti gamis,
imamah dan sirwal), atau pakaian pada masa yang lain, seperti celana pantalon
di zaman kita”. Lalu beliau menjelaskan alasannya secara singkat sebagai berikut :
Alasan 1
Dalam Lisaanul Arab dijelaskan makna izaar:
الإزار
: كل من واراكَ وسَتَرَكَ . وتعني أيضا : الملحفة
“Izaar adalah apa saja yang menutupimu,
termasuk juga selimut”
Alasan 2
Dalam
sebagian hadits digunakan lafadz tsaub (الثوب), sedangkan dalam Lisaanul Arab maknatsaub:
الثوب
: من ثَوَبَ ويعني: اللباس .
“Tsaub,
dari tsawaba, artinya pakaian”
Sehingga tsaub ini mencakup seluruh jenis
pakaian
Alasan 3
Penjelasan
para ulama:
Ibnu Hajar
Al Asqalani menjelaskan:
وَقَالَ
الطَّبَرِيُّ : إِنَّمَا وَرَدَ الْخَبَر بِلَفْظِ الْإِزَار لِأَنَّ أَكْثَر
النَّاس فِي عَهْده كَانُوا يَلْبَسُونَ الْإِزَار وَالْأَرْدِيَة ، فَلَمَّا
لَبِسَ النَّاس الْقَمِيص وَالدَّرَارِيع كَانَ حُكْمهَا حُكْم الْإِزَار فِي
النَّهْي . قَالَ اِبْن بَطَّال : هَذَا قِيَاس صَحِيح لَوْ لَمْ يَأْتِ النَّصّ
بِالثَّوْبِ ، فَإِنَّهُ يَشْمَل جَمِيع ذَلِكَ ، وَفِي تَصْوِير جَرّ الْعِمَامَة
نَظَر ، إِلَّا أَنْ يَكُون الْمُرَاد مَا جَرَتْ بِهِ عَادَة الْعَرَب مِنْ
إِرْخَاء الْعَذْبَات ، فَمَهْمَا زَادَ عَلَى الْعَادَة فِي ذَلِكَ كَانَ مِنْ
الْإِسْبَال
“At
Thabari berkata, lafadz-lafadz hadits menggunakan kata izaar karena kebanyakan
manusia di masa itu mereka memakai izaar [seperti pakaian bawahan untuk kain
ihram] dan rida’ [seperti pakaian atasan untuk kain ihram]. Ketika
orang-orang mulai memakai gamis dan jubah, maka hukumnya sama seperti larangan
pada sarung. Ibnu Bathal berkata, ini adalah qiyas atau analog yang tepat,
andai tidak ada nash yang menggunakan kata tsaub. Karenatsaub itu sudah mencakup semua jenis pakaian
[sehingga kita tidak perlu berdalil dengan qiyas, ed]. Sedangkan adanya isbal
pada imamah adalah suatu hal yang tidak bisa kita bayangkan kecuali dengan
mengingat kebiasaan orang Arab yang menjulurkan ujung sorbannya. Sehingga
pengertian isbal dalam hal ini adalah ujung sorban yang kelewat panjang
melebihi umumnya panjang ujung sorban yang dibiasa dipakai di masyarakat
setempat” (Fathul Baari, 16/331)
Penulis Syarh
Sunan Abi Daud (9/126)
berkata:
فِي
هَذَا الْحَدِيث دَلَالَة عَلَى عَدَم اِخْتِصَاص الْإِسْبَال بِالْإِزَارِ بَلْ
يَكُون فِي الْقَمِيص وَالْعِمَامَة كَمَا فِي الْحَدِيث .قَالَ اِبْن رَسْلَان :
وَالطَّيْلَسَان وَالرِّدَاء وَالشَّمْلَة
“Hadits
ini merupakan dalil bahwa isbal tidak khusus pada kain sarung saja, bahkan juga
pada gamis dan imamah sebagaimana dalam hadits. Ibnu Ruslan berkata, juga pada thailasan [kain sorban yang disampirkan di
pundak], rida’ dan syamlah [kain yang dipakai untuk menutupi
bagian atas badan dan dipakai dengan cara berkemul]”
Al’Aini
dalam ‘Umdatul Qari (31/429) menuturkan:
قوله
من جر ثوبه يدخل فيه الإزار والرداء والقميص والسراويل والجبة والقباء وغير ذلك
مما يسمى ثوبا بل ورد في الحديث دخول العمامة في ذلك …
“Perkataan
Nabi ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya‘ ini mencakup kain sarung,
rida’, gamis, sirwal, jubah, qubba’, dan jenis pakaian lain yang masih disebut sebagai
pakaian. Bahkan terdapat riwayat yang memasukan imamah dalam hal ini”
Syubhat 4: isbal itu hukumnya Cuma makruh, jadi tidak mengapa
jika setiap hari kita isbal.
Terlepas dari pendapat yang menyatakan bahwa isbal
adalah haram atau makruh, perkataan ini hanya
keluar dari orang yang tidak memiliki sifat wara’. Karena sebenarnya
seorang muslim sejati (mukmin) itu
selalu merasa takut jika dirinya terjerumus ke dalam dosa, sehingga dia
meninggalkan yang haram, dan menjauhi yang samar-samar hukumnya. Bukan sebaliknya yang membiasakan diri dan terus-menerus melakukan hal yang
mendekati keharaman atau yang makruh. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:
الحَلاَلُ
بَيِّنٌ، وَالحَرَامُ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهَا
كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى المُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ
وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ: كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى،
يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ
“Yang halal itu jelas, yang haram itu jelas. Diantaranya ada yang syubhat, yang tidak diketahui
hukumnya oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa menjauhi yang syubhat, ia telah
menjaga kehormatan dan agamanya. Barangsiapa mendekati yang syubhat,
sebagaimana pengembala di perbatasan. Hampir-hampir saja ia melewatinya” (HR. Bukhari 52, Muslim 1599)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
إِنَّ
الشَّيْطَانَ يَجْرِي من ابْن آدم مجرى الدم
“Sesungguhnya
setan ikut mengalir dalam darah manusia” (HR. Bukhari 7171, Muslim 2174)
Al
Khathabi menjelaskan hadits ini:
وَفِي
هَذَا الْحَدِيثِ مِنَ الْعِلْمِ اسْتِحْبَابُ أَنْ يَحْذَرَ الإِنْسَانُ مِنْ
كُلِّ أَمْرٍ مِنَ الْمَكْرُوهِ مِمَّا تَجْرِي بِهِ الظُّنُونُ وَيَخْطُرُ
بِالْقُلُوبِ وَأَنْ يَطْلُبَ السَّلامَةَ مِنَ النَّاسِ بِإِظْهَارِ الْبَرَاءَةِ
مِنَ الرِّيَبِ
“Dalam
hadits ini ada ilmu tentang dianjurkannya setiap manusia untuk menjauhi setiap
hal yang makruh dan berbagai hal yang menyebabkan orang lain punya sangkaan dan
praduga yang tidak tidak. Dan anjuran untuk mencari tindakan yang selamat dari
prasangka yang tidak tidak dari orang lain dengan menampakkan perbuatan yang
bebas dari hal hal yang mencurigakan” (Talbis Iblis, 1/33)
Apalagi sekarang ini banyak orang yang mengaku ustad,
yang selalu membiasakan diri terhadap hal –hal yang dihukumi makruh. Padahal para ustad itu seharusnya menjadi contoh masyarakat. Bagaimana seseorang
layak disebut ustad, sedangkan dirinya tidak mencerminkan sifat wara. Padahal semakin
baik keislaman seseorang, dia akan semakin wara’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
فَضْلُ
الْعِلْمِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ، وَخَيْرُ دِينِكُمُ
الْوَرَعُ
“Keutamaan
dalam ilmu lebih disukai daripada keutamaan dalam ibadah. Dan keislaman kalian
yang paling baik adalah sifat wara’” (HR. Al Hakim 314, Al Bazzar 2969,
Ath Thabrani dalam Al Ausath 3960. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib 1740)
Umar bin
Khattab Radhiallahu’anhu berkata:
«إِنَّ
الدِّينَ لَيْسَ بِالطَّنْطَنَةِ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ وَلَكِنَّ الدِّينَ
الْوَرَعُ»
“Agama
Islam itu bukanlah sekedar dengungan di akhir malam, namun Islam itu adalah
bersikap wara’” (HR Ahmad dalam Az
Zuhd, 664)
Para
penuntut ilmu agama, ustadz, kyai, atau ulama yang paham agama secara mendalam,
seharusnya
lebih bersifat wara’, bukan malah asyik mengamalkan semua yanmg dihukumi makruh. Al Hasan Al Bashri berkata:
«أَفْضَلُ
الْعِلْمِ الْوَرَعُ وَالتَّوَكُّلُ»
“Ilmu
yang paling utama adalah wara’ dan tawakal” (HR. Ahmad dalam Az Zuhd, 1500)
Yahya bin
Abi Katsir berkata:
«الْعَالِمُ
مَنْ خَشِيَ اللَّهَ , وَخَشْيَةُ اللَّهِ الْوَرَعُ»
“Orang
alim adalah orang yang takut kepada Allah. Takut
kepada Allah itulah wara’” (Akhlaqul ‘Ulama, 1/70)
Dari sifat wara inilah para fuqaha dan para ulama
tidak pernah melakukan hal-hal makruh kecuali karena terpaksa atau karena
adanya uzur.
Demikian
penjelasan
hukum tentang isbal. Semoga bermanfaat.
Post Terkait
Apa pengertian tawassul serta bagaimana hukumnya dalam islam ?
28 Feb 20160Secara bahasa tawassul artinya adalah mendekatkan diri. Dalilnya yaitu seperti yang ada dalam firm...Read more »
Hukum Perdukunan, datang dan bertanya pada dukun
28 Feb 20160dukun adalah penipu Perdukunan dalam bahasa arab adalah Kahanah wazan fa'alah yang diambil dar...Read more »
tatacara wudhu yang dicontohkan Nabi Muhammad yang wajib kita ketahui
05 Mar 20161Sekarang ini, jika kita melihat orang-orang yang sedang berwudhu di masjid, kita akan menemui pe...Read more »
Hukum pergi dan bertanya kepada dukun dan sejenisnya untuk obat kesembuhan
28 Feb 20160Terkadang ada sebagian orang yang anggota keluarganya sakit, atau sakit kejiwaan yaitu gila, ...Read more »
Apa hukum memakai cadar bagi seorang wanita muslimah menurut syariat ?
04 Mar 20160Ada perbedaan pendapat tentang hukum memakai cadar bagi seorang wanita muslimah, yaitu pendapat ...Read more »
Bolehkah meminta ampunan untuk orang atau kerabat murtad yang telah meninggal ?
29 Feb 20160Jika ada orang yang sebelumnya beragama islam namun dia murtad atau keluar dari islam, maka kit...Read more »
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.