pakai cadar
Ada perbedaan pendapat tentang hukum memakai cadar bagi seorang wanita muslimah, yaitu pendapat yang mewajibkannya serta pendapat yang menghukuminya sunnah. Tidak ada perintah secara jelas dan langsung dalam menutup muka atau yang disebut dengan memakai cadar. Dalil-dalil tentang masalah ini bersifat umum, baik yang bersal dai hadist, maupun yang berasal dari Al-Qur’an.

Pendapat Wajibnya Pemakaian Cadar.

Pendapat yang mewajibkan pemakaian cadar selama ini dipegang oleh minoritas ulama, mereka berpendapat dengan berpegang kepada dalil-dalil sebagai berikut :

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab.

1.       “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” [Al-ahzab : 53]
Mereka mengatakan bahwa ayat ini walaupun diturunkan mengenai para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun maksudnya adalah mereka dan wanita lainnya karena keumuman alasan yang disebutkan itu dan cakupan maknanya

2.       “Artinya : Hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan ta’atilah Allah dan RasulNya” [Al-Ahzab : 33]

Ayat ini mencakup para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wanita lainnya, seperti halnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat lainnya.

Selain ini, Allah pun menurunkan dua ayat lainnya dalam surat An-Nur, yaitu :

3.       “Artinya : Katakanlah kepda laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya’. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka ….” [An-Nur : 30-31]

Yang dimaksud dengan ‘perhiasan’ di sini adalah keindahan dan daya tarik, yang mana wajah adalah yang paling utamanya. Sedangkan yang dimaksud dengan : “kecuali yang (biasa) nampak dari mereka” [An-Nur : 31] adalah pakaian. Demikian pendapat yang benar di antara dua pendapat ulama, sebagaimana yang dikatakan oleh sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu yang berdalih dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4.       “Artinya : Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [An-Nur : 60]

Penjelasan mereka (minoritas ulama yang mewajibkan pemakaian cadar) tentang ayat-ayat di atas yang dijadikan dalil :

Ayat di atas menunjukan kewajiban wanita untuk berhijab, dan inilah yang menjadikannya sebagai dalil wajibnya pemakaian cadar. Dan Allah SWT memberikan keringanan bagi wanta-wanita tua dan menopause, dan yang sudah tidak memiliki keinginan untuk menikah lagi, untuk meninggalkan hijab, asal tidak bersolek dan menampakan perhiasan. Namun berlaku sopan lebih baik bagi mereka.

Mereka para minoritas ulama yang mewajibkan pemakaian cadar berkesimulan, bahwa para wanita muda wajib berhijab, dan mereka berdosa bila mereka meninggalkan kewajiban ini. begitu juga para wanit tua jika berdandan dan memakai perhiasan, tetap harus memakai hjab, karena bisa menimbulkan fitnah. Telah diriwayatkan secara pasti dari Aisyah dan Asma Radhiyallahu ‘anhuma, saudarinya, mewajibkan para waniita untuk menutup aurat dengan hijab bila di depan lelaki yang bukan mahram, walaupun sedang melaksanakan ihram, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘anhu yang disebutkan dalam Ash-Shahihain, menunjukan bahwa bolehnya para wanita yang terbuka hijabnya di masa awal islam telah dihapus dengan ayat hijab yang turun.

Tentang ikut sertanya kaum wanita di beberapa pekerjaan pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti ; mengobati orang-orang yang terluka dan yang sakit pada saat jihad, dan sebagainya, adalah benar, tetapi dengan tetap berhijab, memelihara diri dan jauh dari faktor-faktor yang menimbulkan karaguan, sebagaimana dikatakan oleh Ummu Sulaim Radhiyallahu ‘anha, “Kami berperang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami memberi minum orang-orang yang terluka, membawakan air dan mengobati yang sakit”. Tidak seperti sekarang, para wanita bekerja dan berbaur dengan pria akibat paham kesetaraan gender. Lihat lah di bank-bank banyak wanita menjadi atasan pria, bersolek, dan membuka aurat. Akhirnya menggeser kedudukan pria, dan menghilangkan lahan pekerjaan pria. Padahal pria itu bertugas sebagai pemimpn dalam keluarganya, namun wanita zaman sekarang telah mengambil alihnya. Maka hancurlah pola masyarakat menjadi tidak seimbang, kesengsaraan lahir di tengah zaman kacau balau ni. Maka ketika Allah SWT telah mengeluarkan azabnya, kemana kita akan lari ?

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata dalam fatwanya tentang hijab 
:
Merajalelanya kenistaan, hancurnya keluarga dan porak porandanya masyarakat. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah yang Mahatinggi lagi Mahaagung. Semoga Allah menunjuki semuanya kejalanNya yang lurus. Dan semoga Allah menunjuki kami dan anda serta semua saudara-saudara kita kepada ilmu yang bermanfaat dan mengamalkannya. Sesungguhnya Dialah sebaik-baik tempat meminta.”

[Majmu Al-Fatawa, Juz 3, hal 354, Syaikh Ibnu Baz]
cadar

Pendapat Yang Menghukumi Hijab Sebagai Sunnah.

Mayoritas ulama menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui bahwa ada sahabat yang mewajibkannya, walau hanya seorang. Tetapi menurut mereka lebih utama jika wanita menutup wajahnya. Sedangkan untuk mewajibkan sesuatu, mereka menyatakan harus adanya hukum yang jelas dalam syari'at, karena tidak boleh mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Allah.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani membuat satu pasal dalam kitabnya “kitab 'Hijabul Mar'aatul Muslimah', yang anggapan orang bahwa menutup wajah wanita adalah bid'ah. Dia menjelaskan bahwa menutup wajah bagi wanita itu lebih utama dari yang tidak menutupnya.

Hadits Ibnu Abbas, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam 'Al-Mushannaf' menjelaskan, bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukanlah termasuk aurat.

Pendapat ini bukanlah hal baru seperti pernyataan 'As Salafus Shalih' dan para ahli tafsir seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari dan lain-lain bahwa wajah bukanlah termasuk aurat sedangkan jika menutupnya justru lebih utama.

Namun ada sebagian dari mereka yang berdalil tentang wajibnya menutup wajah bagi wanita, dengan kaidah “Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil kemanfaatan". Dan kaidah ini berdasarkan syariat dan bukan termasuk bid’ah

Orang yang pertama menerima syariat allah SWt di muka bumi ini adalah Rasulullah SAW, kemudian diteruskan ke para sahabat, maka para sahabat ini tentunya sudah lebih dulu mengetahui akan kaidah ini, namun mereka tidak pernah mewajibkan cadar seperti yang para mayoritas ulama ketahui.

Dalam kitab 'Hijaab Al-Mar'aatul Muslimah' terdapat kisah seorang wanita 'Khats'amiyyah' yang dilihat dan terus dipandang oleh Fadhl bin 'Abbas yang sedang dibonceng oleh Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam, dan wanita itupun melihat Fadhl. Fadhl adalah pria tampan dan wanita itupun adalah seorang wanta yang cantik. Kecantikan wanita ini mana mungkin diketahui apabila wanita tersebut memakai cadar, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat itu memalingkan wajah Fadhl ke arah lain. Cerita ini menunjukan bahwa si wanita tadi tidak sedang menutup wajahnya.

Ada yang mengatakan bahwa wanit itu sedang berihram, padahal tak ditemukan tanda-tanda bahwa dia sedang berihram. Dan wanita tersebut juga tidak seperti dalam kondisi setelah melempar jumrah, yaitu setelah 'tahallul' awal.

Adapun jika benar wanita tersebut sedang berihram, kenapa Rasulullah tidak menerapkan kaidah mencegah kerusakan .?!

Pandangan seorang wanita kepada wajah lelaki tidak ada perbedaan dengan pandangan lelaki ke wajah wanita. Karena ini sudah menjadi tabiat manusia. Bagaimana kita mau mengenali perbedaan jika kita tidak pernah melihat wajah seseorang ? kita boleh-boleh saja melihat wajah perempuan jika untuk mengenalinya, jika sudah mengenalinya barulah kita tundukan pandangan.
Tentang hal ini Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman. 'Hendaknya mereka menahan pandangannya" [An-Nuur : 30]
“Dan katakanlah kepada wanita yang beriman. 'Hendaklah mereka menahan pandangannya" [An-Nuur : 31]
Kedua ayat di atas sama-sama memerintahkan untuk menahan pandangan bagi pria maupun wanita. Dan di masing-masing ayat kita tidak menemukan erintah untuk menutup wajah. Benar tidak ?`

Dari kedua ayat itu bisa diketahui bahwa di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajah itu merupakan sesuatu yang biasa terbuka dan terlihat. Maka dari itu Allah SWT Sang Pembuat Syariat dan Yang Maha Bijaksana memerintahkan kepada semua jenis manusia yaitu pria dan wanita untuk menundukan pandangan.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menjelaskan dalam fatwanya :

Adapun hadits.

"Artinya : Wanita adalah aurat"

Tidak berlaku secara mutlak. Karena sangat mungkin seseorang boleh menampakkan auratnya di dalam shalat.[1]

Yang berpendapat bahwa wajah wanita itu aurat adalah minoritas ulama. Sedangkan yang berpendapat bahwa wajah bukan aurat adalah mayoritas ulama (Jumhur).

Hadits :

"Artinya : Wanita adalah aurat, jika ia keluar maka syaithan memperindahnya"

Tidak bisa diartikan secara mutlak. Karena ada kaidah yang berbunyi :

"Dalil umum yang mengandung banyak cabang hukum, dimana cabang-cabang hukum itu tidak bisa diamalkan berdasarkan dalil umum tersebut, maka kita tidak boleh berhujah dengan dalil umum tersebut untuk menentukan cabang-cabang hukum tadi".

Misalnya : Orang-orang yang menganggap bahwa 'bid'ah-bid'ah' itu baik adalah berdasarkan dalil yang sifatnya umum. Contoh : Di negeri-negeri Islam seperti Mesir, Siria, Yordania dan lain-lain.... banyak orang yang membaca shalawat ketika memulai adzan. Mereka melakukan ini berdasarkan dalil yang sangat umum yaitu firman Allah.

"Artinya : Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya" [Al-Ahzaab : 56]

Dan dalil-dalil lain yang menjelaskan keutamaan shalawat kepada Nabi

Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan dalil-dalil umum (yang tidak bisa daijadikan hujjah dalam adzan yang memakai shalawat, karena ia membutuhkan dalil khusus, wallahu a'lam, -pent-).

Mewajibkan wanita menutup wajah. Berdasarkan hadits : "Wanita adalah aurat", adalah sama dengan kasus di atas. Karena wanita (Shahabiyah) ketika melaksanakan shalat mereka umumnya membuka wajah. Demikian pula ketika mereka pulang dari masjid, sebagian mereka menutupi wajah, dan sebagian yang lain masih membuka wajah.

Jika demikian hadits diatas (wanita adalah aurat), tidak termasuk wajah dan telapak tangan. Prinsip ini tidak pernah bertentangan dengan praktek orang-orang salaf (para shahabat)`

[Disalin dari kitab Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa AlBani, hal 150-154 Pustaka At-Tauhid)


Jadi kesimpulannya, menutup wajah dengan cadar itu tidaklah wajib, tapi lebih utama. Sekali lagi membuktikan bahwa agama islam tidak pernah berlawanan dengan akal dan logika. Wassalam…
04 Mar 2016

0 komentar:

Posting Komentar

:) :)) ;(( :-) =)) ;( ;-( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.

 
Top